Jumat, 16 Maret 2012

Menyibak Tabir Kontroversi antara Pengusung dan Penolak Istihsan (Telaah-Analisis Konsep Istihsan sebagai Dalil Syariat)

Oleh: Mohammad Hafidz Anshory *)
  
”Sembilan puluh persen ilmu adalah Istihsan”
(Imam Malik bin Anas)
“Orang yang tenggelam dalam melakukan qiyas, dalam batas tertentu,  nyaris meninggalkan       as-Sunnah, sedangkan Istihsan adalah pilar ilmu”
(Imam Ashbagh)
 “Siapa yang ber-Istihsan maka sungguh dia telah membuat syariat baru !”
(Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i)

I. Prolog 
Dalil bagi para pengggali hukum ( baca : mujtahid )  adalah sebuah keharusan dan harga mati dalam aktivitas penetapan hukum dari hal-hal yang sebelumnya tidak memiliki status hukum tertentu. Dan begitu juga sebaliknya, mengatakan sesuatu tanpa dalil atau secara asal-asalan merupakan tindakan yang sangat dihindari dan dijahui oleh mereka.
Lebih jelasnya, Imam Syafi'i, pencetus madzhab ketiga diantara empat madzhab yang saat ini tersebar di dunia,  menegaskan dalam magnum opusnya al-Risalah tentang pentingnya eksistensi dalil bagi para mujtahid dalam aktivitas ijtihadnya. Beliau menegaskan bahwa kegiatan ijtihad tak akan pernah dilakukan oleh para mujtahid kecuali dengan adanya tujuan penetapan hukum, sedangkan  penetapan hukum tak akan pernah ada  kecuali dengan adanya dalil yang dijadikan pijakan[1].
Hal itu terbukti bahwa tak satupun hukum yang telah ditelurkan masing-masing mereka terbangun secara asal-asalan atau tanpa dalil (baca ; al-qaul bil-tasyahhi), sekalipun kekuatan dalil yang dijadikan pijakan oleh masing-masing mereka berbeda-berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang kuat dan ada yang lemah. Namun yang jelas, mereka terlepas dari tindakan asal-asalan atau menetapkan hukum tanpa dalil.

Kemudian ketika kita melacak dalil yang dijadikan pijakan penetapan hukum oleh mereka, maka kita akan menemukan bahwa dalil itu terklasifikasi menjadi dua dimensi. Yaitu  dimensi dalil yang sudah disepakati (al-muttafaq alaih) yaitu ; al-Kitab, al-Sunnah, Ijma' dan Qiyas dan dimensi dalil yang masih diperselihkan (al-mukhtalaf fiihi) untuk dijadikan pijakan penetapan hukum[2]. Dan diantara dalil yang dikategorikan pada dimensi kedua adalah Istihsan yang menjadi tema kajian analisis penulis pada kesempatan kali ini.
Istihsan tergolong sebagai dalil yang masih diperselisihkan karena faktanya tidak semua madzhab menjadikannya dalil sebagai pijakan penetapan hukum. Hanya ada tiga madzhab diantara empat madzhab yang tersebar di dunia saat ini yang melegalkan istihsan sebagai dalil dalam penetapan hukum, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, sedangkan madzhab Syafi'i berbeda dengan ketiga madzhab tersebut yaitu berdiri di atas garis penolak Istihsan.[3] 
Abdul Aziz al-Bukhori al-Hanafi dalam bukunya Kasyful Asraar Syarh Usul Bazdawy, memaparkan bahwa sekelompok penolak Istihsan menyangsikan Abu Hanifah dan kawan-kawannya yang telah melegalkan Istihsan sebagai dalil hukum. Mereka menyatakan bahwa dalil yang dilegalkan untuk penetapan hukum hanyalah al-kitab, al-sunnah, ijma' dan qiyas sedangkan Istihsan adalah dalil kelima yang sama sekali tidak dilegalkan dan merupakan pernyataan secara asal-asalan. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa Imam Syafi'i sangat menolak eksistensi Istihsan dengan menyatakan bahwa siapapun yang mengambil Istihsan sebagai dalil pijakan dalam penetapan hukum maka sungguh ia sudah melakukan kesalahan berupa menetapkan hukum tanpa dalil dan berdasarkan nafsu.[4] 
II. Definisi Istihsan 
Sebelum melangkah lebih jauh penulis perlu memaparkan definisi Istihsan baik secara bahasa atau secara istilah sebagai berikut ; Istihsan secara bahasa adalah menganggap dan meyakini baik sesuatu. Adapun definisi istihsan secara istilah ushuliyyin sebagaimana berikut :
Definisi Istihsan menurut al-Ghazali al-Syafi'i adalah sesuatu yang menurut akal mujtahid dianggap baik.[5] As-Syatiby al-Maliki mendefinisikan Istihsan adalah mendahulukan maslahah juz'iyyah (partikular) dihadapan dalil kully (universal).[6]
Menurut al-Kharkhy al-Hanafi adalah menetapkan hukum yang berbeda dari yang semestinya karena adanya unsur lain yang lebih kuat.[7] Sedangkan menurut Ibnu Qudamah al-Hanbali Istihsan diartikan sebagai menetapkan hukum yang berbeda dari yang semestinya karena adanya dalil khusus baik dari al-Quran atau al-Sunnah.[8]
Definisi kelima dikemukan oleh pendahulu madzhab hanafi, yaitu pindah dari tuntutan qiyas yang lemah ke tuntutan qiyas yang lebih kuat.[9] Definisi selanjutnya juga dikemukakan oleh pendahulu hanafiyah yaitu dalil yang tersembunyi dalam diri mujtahid yang tidak mungkin untuk diungkapkan.[10]
III. Argumen Pengusung Istihsan
1. Al-Qur'an
Firman Allah Azza Wajalla :  الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه (الزمر: 18)
Ayat ini menurut mereka menyanjung seseorang yang mengikuti perkataan terbaik. Al-Syarakhsy menegaskan bahwa seluruh isi al-Quran adalah baik dan kemudian diperintahkan untuk mengikuti yang terbaik.
Firman Allah Azza Wajalla : واتبعوا أحسن ما أنزل إليكم من ربكم ( الزمر 55)
Ayat ini  menurut mereka menyuruh untuk mengikuti hal terbaik dari sesuatu yang diturunkan. Maka dari itu ayat ini menunjukkan dan memerintahkan untuk meninggalkan sebagian sesuatu dan mengikuti sebagian yang lainnya yang lebih baik.  dan inilah makna Istihsan menurut mereka.
2. Al-Hadits
Sabda nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam: ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Mereka mengatakan bahwa sesuatu yang dipandang baik oleh manusia secara kebiasaan dan akalnya maka hal itu hakekatnya benar. Karena menurut mereka setiap sesuatu yang tidak benar dan tidak baik juga tidak benar dan tidak baik menurut Allah Subhanahu Wataala. Dan sesuatu yang benar dan baik menurut allah adalah merupakan hujjah.
3. Ijma'
Yaitu mereka ummat manusia sudah menganggap baik masuk jeding (baca ; toilet) yang disewakan dengan tanpa menentukan kadar uang sewa, air  dan waktu berdiam didalamya.
IV. Argumen As-Syafii sebagai Penolak Istihsan
Pertama, beliau menegaskan bahwa Allah Swt. tidak membiarkan manusia dalam keadaan sia-sia dalam hidup ini akan tetapi Allah Swt. sudah membatasi mereka dengan perintah dan larangan yang sudah termaktub dalam  kitab-Nya ataupun dalam perkataan dan tindakan Nabi Muhammad Saw. baik secara langsung atupun tidak  langsung. Dan barang siapa yang melegalkan Istihsan berarti membiarkan dirinya dalam kesia-kesiaan yang sudah sangat jelas berbeda dengan pernyataan dan qodrat Allah Swt.
Kedua, beliau mengatakan bahwa tidak boleh menetapkan hukum dengan selain al-quran, hadits, ijma' dan qiyas. Barang siapa yang melegalkan Istihsan sebagai pijakan hukum berarti dia tidak berpijak pada keempat hal tersebut.
Ketiga, beliau berdalih bahwa para sahabat tidak pernah mendasari hukum mereka dengan Istihsan. Akan tetapi mereka kembali kepada al-qur'an, hadits dan qiyas.
Keempat, beliau berdalih seandainya boleh bagi para mujtahid mengambil sesuatu yang dianggap baik oleh akalnya ( yang di dalamya tidak terdiri dari hadits) sebagai dasar hukum maka niscaya orang awam yang bukan mujtahid boleh melakukan hal demikian. Dan hal ini tidak ada satupun yang melegalkannya. [11]  
V.  Klasifikasi Istihsan
Istihsan dalam mainstream pengusungnya terklasifikasi menjadi beberapa bagian sebagai berikut :
a. Istihsan dengan Atsar (hadits) 
Istihsan bil Atsar adalah pindah dari keharusan qiyas menuju keharusan atsar atau hadits. Contohnya adalah dibolehkannya transaksi salam. Keharusan qiyas tidak memperbolehkan jenis transaksi ini. Pasalnya, jenis transaksi ini terdiri dari barang yang tidak diketahui alias tidak ada. Tapi ada hadits yang melegalkan untuk memperbolehkan transaksi jenis ini, yaitu "barang siapa yang melakukan transaksi salam maka hendaknya ia memperhatikan ukuran dan batasan-batasannya".
b. Istihsan dengan Dhorurah
Istihsan dengan dhorurah adalah berpindah dari keharusan qiyas kepada keharusan dharurah. Contohnya adalah  tetapnya kondisi kesucian kolam, sumur dan bejana setelah bersentuhan dengan sesuatu yang menajiskan. Keharusan qiyas menetapkan sebalikya karena tidak memungkinkan untuk menuangkan air ke dalam tiga hal tersebut untuk mensucikannya dan karena timba yang diulurkan akan menjadi najis ketika menyentuh air yang berada dalam ketiga hal tersebut. Namun keharusan qiyas dimaksud ditinggalkan karena faktor dharurah, yaitu tidak memungkinnya untuk dibasuh dan disucikan. 
c. Istihsan dengan Ijma'
Istihsan bil ijma' adalah  berpindah dari keharusan qiyas menuju kepada keharusan ijma'. Contohnya adalah bolehnya transaksi Istishna' ( meminta dibuatkan sesuatu kepada orang lain ). Misalnya meminta dibuatkan sepatu dengan spesifikasi dan ukuran yang sudah ditentukan dan tanpa menyebutkan waktu penyerahan. Keharusan qiyas tidak melegalkan transaksi dimaksud karena terdiri dari transaksi fiktif yang barangnya tidak ada. Namun keharusan qiyas dimaksud ditolak oleh ijma' yang ditetapkan oleh kebiasaan masyarakat yang sudah melekat dan tak satupun yang membedai.   
  d. Istihsan dengan Qiyas Khofi (samar)
 Istihsan dengan qiyas khofi (samar) adalah  berpindah dari keharusan qiyas yang atsarnya lemah kepada qiyas yang atsarnya lebih kuat. Contohnya adalah tetapnya kondisi kesucian sisa air dalam bejana yang telah diminum burung buas sepeti elang dan sebagainya. Keharusan qiyas pertama adalah najisnya air tersebut karena  daging burung buas adalah haram dimakan dan najis. Namun keharusan qiyas kedua tetap melegalkan kesucian air dalam bejana dimaksud karena burung dimaksud meminum dengan paruh bukan dengan lidahnya sedangkan paruh adalah  suci karena ia kering[12].
e. Istihsan dengan Ur'f ( kebiasaan)
Istihsan dengan ’urf (kebiasaan) adalah berpindah dari keharusan qiyas menuju kepada keharusan kebiasaan yang berlaku dimasyarakat. Contohnya adalah ketika seseorang bersumpah untuk tidak makan sesuatu yang dimasak maka ia dianggap melanggar sumpah jika ia memakan daging yang dimasak bukan yang lainnya. Karena faktor kebiasaan yang berlaku dimasyarakat.[13]  
VI. Membidik Poros Kontroversi 
Dari berbagai definisi dan klasifikasi Istihsan diatas, Dr. Musthafa Dib Bugha dalam bukunya Atsaru al-Adillah al-Mukhtalaf Fiiha Fil Fiqh al-Islami, mencoba menelisik poros kontroversi antara pengusung dan penolak istihsan, kemudian beliau menangkap bahwa poros perbedaan diantara mereka adalah terletak pada definisi yang dipaparkan oleh al-Ghazali dan pada definisi terakhir. Namun setelah beliau menelisik lebih dalam lagi tentang makna Istihsan dari beberapa pernyataan pakar ushul, ternyata kedua definisi tersebut tidaklah tepat untuk dijadikan poros kontroversi. Pasalnya, karena kontroversi diantara mereka hanyalah terletak pada sisi lafadz saja (khilaf lafdzi), tidaklah lebih dari itu[14].
Thoha al-Syaih juga menegaskan dalam komentarnya terhadap al-Mustashfa, bahwa perbedaan diantara mereka tidaklah menyentuh esensi dan makna Istihsan itu sendiri. Perbedaan diantara mereka hanyalah berkutat pada sisi bentuk pemakaian bahasa saja. Pasalnya, menurut beliau para penolak Istihsan khususnya Imam al-Syafi'i hanya mengingkari penamaan dan makna batil yang tidak ditemukan dan diaplikasikan oleh pihak pengusung. Mereka, para penolak, tidak memungkiri  makna Istihsan yang benar yaitu yang bertendensi pada pemindahan dalil ke dalil yang lebih kuat. Adapun definisi al-Ghazali tentang Istihsan menurut beliau semuanya sudah sepakat bahwa Istihsan dengan definisi demikian tidaklah dibenarkan dan batil. [15]
Buku usul fikih yang disusun oleh KH. Rusydan Anwar, Dr. Andus Haris Mu'nis dan Ahmad Rusydi Asyrafi, Lc yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai panduan mata pelajaran usul fikih untuk kelas dua Aliyah juga ikut andil untuk menegaskan bahwa perbedaan diantara mereka juga hanya berkelit-kelindan diantara penggunaan bahasa dan lafadz saja dan tidak menyentuh pada makna dan esensinya. Buku itu berargumen, bahwa jika yang dimaksud Istihsan adalah mengatakan secara asal-asalan dan tanpa dalil maka maksud yang demikian adalah batal dan tidak ada satupun yang melegalkannya. Dan jika yang dimaksud adalah pindah dari dalil ke dalil yang lebih kuat maka semuanya telah sepakat dan menerima.[16]
Abu al-Mudzoffar Mansur bin Muhammad al-Sam'ani juga memberikan suguhan menarik kepada kita tentang poros kontroversi antara para pengusung Istihsan dan penolaknya dalam bukunya Qowathi'u al-Adhillah fi Ushulil Fiqh. Beliau menegaskan bahwa poros kontroversi antara mereka terletak pada sisi penamaan saja, dan tidak menyentuh esensinya. Beliau berlandaskan bahwa streotipe sebagian kalangan penolak Istihsan terhadap kelompok pengusung ternyata tidak ditemukan di dalam kompilasi hukum yang telah ditetapkan dengan Istihsan. Kemudian beliau melanjutkan, bahwa Istihsan yang dijadikan pegangan oleh mereka merupakan dalil yang sejatinya oleh para penolakpun juga disepakati eksistensinya dalam term ushul, yaitu berpindah dari dalil ke dalil lain yang lebih kuat.[17]
Dr. Said Ramadhan al-Buthy juga ikut andil memberikan respon positif terhadap beberapa pernyataan diatas di akhir pembahasannya tentang Istihsan dalam bukunya Dhowabith al-Maslahah fi al-Syariah Islamiyah. Beliau menegaskan bahwa Istihsan pada hakekatnya kembali kepada salah satu beberapa dalil yang sudah disepakati. Akan tetapi menurut beliau, meskipun hakekatnya demikian tidak mengharuskan hukum yang didasari dengan Istihsan juga ikut tersepakati. Beliau berlandaskan bahwa sesungguhnya mengambil hukum dari dalil yang secara global sudah tersepakati dilalui dengan ijtihad yang menjadi sumber dari berbagai perbedaan dalam berbagai tempat dan waktu. Dalam menutup pembahasannya tentang Istihsan, Al-Buthy memberikan interpretasi dan penjelasan dari maksud pernyataan Imam Syafi’i "من استحسن فقد شرع", yaitu Istihsan yang hanya didasarkan kepada akal dan nafsu belaka yang tentunya sudah disepakati kebatilannya oleh mujtahid manapun.[18]      
VII. Kesimpulan  
Dari berbagai hipotesa dan pemaparan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kita tidak menemukan hal-hal yang mengarah bahwa para pengusung istihsan khususya Abu Hanifah telah melakukan pelanggaran dengan mendasari hukum secara asal-asalan dan tanpa dalil ( baca : al-qaul bil-tasyahhi wa min ghair dalil ). Kita juga dapat mengintai bahwa pihak penolak pun pada hakekatnya juga melegalkan Istihsan sebagai pijakan penetapan hukum, sekalipun mereka tidak meng-iya-kan penamaannya sebagai dalil independen. Pasalnya, para penolak Istihsan juga sepakat untuk mendahulukan dalil yang lebih kuat dalam penetapan hukum. ‘Ala kulli hal, tabir kontroversi antara mereka hanyalah terletak pada penamaan dan pelafalan bukan pada esensi dan maknanya. Wallahu a'lam bil- showab.


* Penulis adalah mahasiswa semester delapan (tingkat empat) Fakultas Syariah, Universitas Al-Ahgaff, Tarim-Hadramaut, Yaman, asal Pamekasan, Madura.

[Makalah yang dipresentasikan pada Kajian Kontemporer Bulanan, Ahad 01 April 2012 M, di Auditorium Ahgaff Centre, Universitas Al-Ahgaff, Tarim-Hadramaut, Yaman]
 

[1] Al-Risalah, hal. 494/495
 [2] Dr. Hamdi Shobah Thoha, Ta'arud Adillah al-Tasyri' wa Thuruq al-Takhollush Minhu, Hal. 14
 [3] Dr. Musthafa Dib Bugha, Atsaru al-Adillah al-Mukhtalaf Fiiha Fil Fiqh al-Islami, Hal. 130-132
 [4] Abdul Aziz al-Bukhory, Kasyful Asraar Syarh Usul Bazdawy, juz 4,  hal.3
 [5] Al-Ghazali, al-Mustashfa Min Ilm al-Ushul,  hal. 317
 [6] As-Syathibi, Al-Muwafaqaat fi Ushul al-Syariah, juz 3- 4, hal. 148-149
 [7] Abdul Aziz al-Bukhory, Kasyful Asraar Syarh Usul Bazdawy, juz 4,  hal.3
 [8] Raudhot al-Nadzir hal. 85
 [9] Abdul Aziz al-Bukhory, Kasyful Asraar Syarh Usul Bazdawy, juz 4,  hal.3
 [10] Abu Yahya Zakaria Al-Anshory, Ghayatul Ushul, hal. 247
 [11] Dr. Musthafa Dib Bugha, Atsaru al-Adillah al-Mukhtalaf Fiiha Fil Fiqh al-Islami, Hal.133-137
 [12] Abdul Aziz al-Bukhory, Kasyful Asraar Syarh Usul Bazdawy, juz 4, hal.5-7
 [13] Dr. Musthafa Dib Bugha, Atsaru al-Adillah al-Mukhtalaf Fiiha Fil Fiqh al-Islami, Hal.143
 [14] Dr. Musthafa Dib Bugha, Atsaru al-Adillah al-Mukhtalaf Fiiha Fil Fiqh al-Islami, Hal. 129
 [15] Al-Ghazali, Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul, hal. 320
 [16]  Tim Penulis Kementerian Agama, Materi Usul Fikih kelas 2 Madrasah Aliyah, hal. 3  
 [17]  Abu Mudzoffar al-Sam'ani, Qowathi'u al-Adhillah fi Ushulil Fiqh, juz 4, hal. 520
 [18]  Al-Buthy, Dhowabith al-Maslahah fi al-Syariah al-Islamiyah, hal. 257-258

Tidak ada komentar:

Posting Komentar